Pada kesempatan ini penulis akan memberikan penjelasan yang cukup lengkap seputar tragedi kecelakaan kereta api terbesar dalam sejarah perkeretaapian Indonesia yaitu tragedi kecelakaan kereta api di Bintaro pada tanggal 19 Oktober 1987, dari sudut pandang yang sama sekali berbeda dari tulisan-tulisan yang sudah pernah ada dan tersebar luas di ranah maya ini.
Penulis berharap supaya tulisan ini tidak disalin dengan sembarangan, tetapi jadikanlah sebagai perenungan untuk mengambil hikmat dan manfaat dari peristiwa yang telah terjadi di masa lalu sebagai batu loncatan bagi perkembangan di masa kini dan yang akan datang.
Tulisan ini secara struktur terbagi menjadi 7 bagian utama, dengan garis besar keseluruhan mencakup awal mula, saat-saat menentukan dan pengaruh pasca kecelakaan.
1. Keadaan Sekitar Lokasi Kecelakaan
Telah menjadi pengetahuan khalayak umum bahwa lokasi kecelakaan berada di antara stasiun Sudimara dan stasiun Kebayoran Lama (umumnya hanya disebut sebagai Kebayoran saja), tepatnya di antara tikungan berganda berbentuk huruf "S" pada posisi kilometer 17 + 252 m dari stasiun Tanah Abang, kurang lebih berjarak 8 kilometer dari stasiun Sudimara. Di sekitar lokasi terdapat 1 perlintasan sebidang yang berjarak 200 meter dari lokasi, gedung SMA Negeri 86 Bintaro, satu gedung SD, pemakaman Tanah Kusir dan beberapa rumah penduduk, di mana posisi tikungan terhalangi oleh sebuah bukit kecil (sekarang bukit tersebut sudah diratakan untuk pembangunan jalur ganda yang diresmikan mulai 2007). Saat ini di antara stasiun Sudimara dan Kebayoran Lama telah dibangun stasiun Pondok Ranji dan Jurang Mangu yang keduanya merupakan bangunan baru, dan telah ada jalan tol Ulujami-Serpong serta jalan tol lingkar luar Jakarta (JORR) yang letaknya tidak terlalu jauh.
2. Sarana dan Prasarana
Kondisi sarana dan prasarana pada masa di mana kecelakaan terjadi adalah sebagai berikut:
- Model jalur: lajur tunggal (single track).
- Sistem persinyalan: mekanik penuh, dikendalikan dari masing-masing stasiun oleh kepala stasiun setempat.
- Elektrifikasi: tidak ada (peresmian elektrifikasi lintas Tanah Abang-Serpong-Maja baru dilakukan di masa pengelolaan PT. Kereta Api Indonesia (Persero), di mana kecelakaan terjadi pada masa pengelolaan Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA)).
- Sarana yang digunakan: kereta penumpang kelas ekonomi atau K3 warna abu-abu atau hijau bercampur putih dengan tahun pembuatan bervariasi antara 1960 sampai 1980 yang ditarik lokomotif diesel hidrolik buatan Henschnel Kassel (pabrikan asal Jerman) berjenis BB 303 atau BB 306 yang masing-masing berdaya mesin 1010 dk/HP dan 850 dk/HP. Satu rangkaian KA ekonomi dapat memiliki 5 hingga 8 unit kereta.
- Nomor rangkaian menggunakan format 2xx, mengingat pertimbangan alokasi jumlah perjalanan KA pada saat itu.
Rangkaian yang terlibat memiliki konfigurasi sebagai berikut:
a. KA 225 (KA lokal relasi Rangkasbitung - Tanah Abang)
Lokomotif penarik:
BB 30316, posisi ujung pendek berkabin masinis (
short hood) di muka
Formasi: 8 unit kereta ekonomi jenis K3 dalam 1 rangkaian (sebagian besar adalah K3 buatan tahun 1960-an dengan model pintu daun ganda)
Jumlah penumpang: kurang lebih 700 orang (melebihi batas toleransi kapasitas 25% dari jumlah tempat duduk)
Sifat layanan: Berhenti di setiap stasiun
Masinis: Slamet Suradio
Juru api/asisten masinis: Soleh
Kondektur/KP: Adung Syafei
Stasiun posisi terakhir: Sudimara, jalur 1 (jalur lurus/lacu menghadap langsung ke jalur utama yang digunakan KA dari kedua arah secara bergantian.)
b. KA 220 (Patas Ekonomi relasi Tanah Abang - Merak)
Lokomotif penarik:
BB 30616, posisi ujung pendek berkabin masinis (
short hood) di muka
Formasi: 8 unit kereta ekonomi jenis K3 dalam 1 rangkaian (serupa jenisnya dengan KA 225, hanya berbeda nomor urutnya)
Jumlah penumpang: kurang lebih 500 orang
Sifat layanan: Perjalanan langsung, berhenti di stasiun-stasiun besar dengan banyak jalur yang tersedia
Masinis: Amung Sunarya
Juru api/asisten masinis: Mujiono
Kondektur/KP: Tidak diketahui
Stasiun posisi terakhir: Kebayoran Lama, jalur 2 (jalur ini berbelok ke jalur 1/jalur utama melalui sistem wesel yang dioperasikan dengan kendali petugas setempat.)
BB 30609 (kiri) bersama BB 30316 (kanan) yang terlibat tabrakan
3. Proses Keberangkatan & Kondisi Stasiun Persilangan
Proses keberangkatan KA 225 dimulai dari stasiun Rangkasbitung, yang mana rangkaian KA berhenti di setiap stasiun untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Perjalanan hingga stasiun Serpong berlangsung lancar dengan semboyan 41 yang terkendali. Demikian juga halnya dengan KA 220 yang diberangkatkan dari stasiun awal Tanah Abang dan melintas langsung di beberapa stasiun antara, tidak ada kendala berarti hingga rangkaian memasuki stasiun Kebayoran Lama untuk menunggu persilangan. Dari stasiun Serpong, KA 225 diberangkatkan dengan prosedur normal hingga mencapai stasiun Sudimara yang dijadwalkan tiba pada pukul 06.40 WIB dan melewatkan KA 220 yang prioritasnya lebih tinggi pada pukul 06.49 WIB. Namun pada kenyataannya KA 225 terlambat kurang lebih 5 menit dari jadwal, sehingga tiba di Sudimara pada pukul 06.45 WIB.
Stasiun Sudimara pada saat itu memiliki 3 jalur (1 jalur lurus dan 2 jalur belok), di mana kondisi pada saat tunggu persilangan adalah sebagai berikut:
Jalur 1 = KA 225 dari Serpong, tiba pukul 06.45 WIB (keterlambatan 5 menit);
Jalur 2 = KA barang PT. Indocement dengan formasi 1 lokomotif (tidak diketahui jenis dan nomor serinya) dan beberapa gerbong pengangkut semen menuju stasiun Tanah Abang yang ikut menunggu persilangan;
Jalur 3 = KA barang lainnya (tidak jelas barang apa yang diangkut), menunggu lokomotif penarik.
Stasiun Kebayoran Lama, yang juga memiliki 3 jalur seperti halnya Sudimara, memiliki kondisi saat tunggu persilangan sebagai berikut:
Jalur 1 = kosong (dipergunakan untuk melewatkan KA dari arah hulu/barat);
Jalur 2 = KA 220 dari Tanah Abang, tiba sekitar pukul 06.35 WIB;
Jalur 3 = tidak diketahui kondisi isi/kosong.
4. Tahap Menuju Bencana
Keadaan mulai menghangat setelah kepala stasiun (dan PPKA) stasiun Serpong menyadari bahwa telah terjadi kesalahan prosedur pemberangkatan setelah KA 225 diberangkatkan, di mana kepala stasiun yang bertugas lupa mengecek keadaan jalur kepada kepala stasiun Sudimara, sehingga KA 225 yang terlambat tiba 5 menit dari jadwal tersebut memasuki jalur 1 atau jalur lurus, yang seharusnya dikosongkan untuk melewatkan KA 220.
Akibatnya, ketiga jalur Sudimara yang terisi penuh menyebabkan KA 220 tidak dapat dilewatkan, sehingga petugas pemberangkatan KA (PPKA) Sudimara saat itu, Djamhari, segera memberikan surat perintah pemindahan tempat persilangan (PTP) kepada masinis KA 225, yaitu Slamet Suradio di mana persilangan dipindahkan dari stasiun Sudimara ke stasiun Kebayoran Lama.
Setelah masinis menerima PTP tersebut dan menerima prosedur keberangkatan normal berupa semboyan 41 dan 40 dari Djamhari yang disaksikan Soleh, Adung dan juru langsir, KA 225 membunyikan semboyan tanda keberangkatan atau semboyan 35 untuk memulai perjalanan menuju stasiun Kebayoran pada pukul 07.00 WIB, barulah PPKA stasiun Sudimara berinisiatif memberitahukan perihal PTP tersebut kepada PPKA stasiun Kebayoran Lama yang bertugas saat itu.
Namun, di saat yang hampir bersamaan setelah keberangkatan KA 225, Umrihadi, yang baru saja menggantikan dinas PPKA Kebayoran Lama sebelumnya yang menerima berita PTP tersebut, menganggap bahwa KA 220 yang memiliki prioritas lebih tinggi tetap dilewatkan di stasiun Sudimara meskipun PPKA yang bertugas sebelumnya telah memberitahu yang bersangkutan tentang adanya permintaan PTP untuk memasukkan KA 225 terlebih dahulu di stasiun Kebayoran Lama, kemudian barulah KA 220 diberangkatkan ke arah stasiun Sudimara. Melalui prosedur semboyan normal, ia memberangkatkan KA 220 yang menunggu di jalur 2 tanpa memberitahu Djamhari terlebih dahulu. Sesudah memastikan KA 220 mulai menjauh, barulah ia memberitahu Djamhari 5 menit kemudian.
Djamhari yang menerima berita keberangkatan KA 220 tersebut tanpa izin darinya seketika panik, dan berusaha memberitahu Slamet secara visual melalui sinyal keluar mekanik stasiun Sudimara ke arah Tanah Abang yang dinaikturunkan berulang-ulang ke posisi "stop". Namun karena padatnya penumpang yang berada di bagian depan lokomotif, Slamet dan asistennya tidak menghiraukan pemberitahuan tersebut dan tetap melaju. Melihat usahanya memberitahu masinis tak berhasil, Djamhari dibantu beberapa petugas PPKA lain segera berlari keluar area stasiun dengan membawa bendera merah atau semboyan 3 untuk mengejar KA 225 yang semakin menjauh. Tidak hanya itu saja, ada petugas yang berusaha mengejar KA 225 dengan menggunakan sepeda motor, juga membawa semboyan yang sama. Beberapa penumpang yang tertinggal terlihat ikut panik dan memberitahu potensi benturan kepada staf yang masih berjaga di stasiun.
Pada akhirnya, seluruh usaha Djamhari dan mereka yang ikut berlari mengejar KA 225 pun sia-sia. Kecepatan KA 225 yang diperkirakan melaju sekitar 60 kilometer/jam itu melenggang bebas, tanpa bisa dihentikan. Petugas yang berusaha dengan sepeda motor pun terkendala kondisi lalu lintas yang macet karena mendekati jam masuk kerja para karyawan. Seketika Djamhari pingsan di atas rel karena kelelahan sambil meneteskan air mata, di mana petugas yang ikut bersamanya membawanya kembali ke stasiun Sudimara.
Di lain pihak, Umrihadi yang tidak mengetahui keberangkatan KA 225 bersikap seperti biasanya, yang tanpa disadarinya KA 220 yang baru saja diberangkatkan tersebut berada pada satu lajur rel yang sama dengan KA 225 yang melaju dari arah berlawanan. Djamhari sendiri tidak memberitahukan keberangkatan KA 225 saat itu juga karena berada dalam kondisi yang genting, mengingat dialah yang meminta izin terlebih dahulu kepada PPKA Kebayoran Lama sebelum terjadi pergantian
shift.
Berdasarkan deskripsi di atas, maka kesalahan utama terletak pada kelalaian PPKA stasiun Kebayoran Lama dalam menerima permintaan PTP dari PPKA Sudimara, yang mana sangat berbeda dari opini khalayak umum dan sumber-sumber lain di ranah maya bahwa kesalahan utama berada pada masinis KA 225 yang memberangkatkan KA secara instan tanpa prosedur resmi dari PPKA Sudimara.
5. Detik-detik Sebelum dan Sesudah Benturan
Dalam satu lajur yang sama, KA 225 dan KA 220 berjalan tanpa hambatan seperti hari-hari sebelumnya tanpa saling mengetahui posisi satu sama lain, karena saat itu belum ada fasilitas radio komunikasi di lokomotif yang digunakan seperti saat ini. Seluruh penumpang di kedua KA juga tidak mengetahui apa yang telah terjadi di stasiun asal keberangkatan.
Djamhari, yang kondisinya mulai membaik, setelah menghubungi Umrihadi mengenai permasalahan kedua KA ia berusaha memberitahu petugas perlintasan sebidang dengan kode PJL 57A atau dikenal dengan PJL Pondok Betung dengan memberikan semboyan genta perlintasan sebagai peringatan kepada masinis KA 220 yang akan melewati perlintasan tersebut. Akan tetapi, petugas PJL 57A sendiri awalnya mengira bahwa genta tersebut dibunyikan sebagai percobaan (beberapa sumber lain menyebutkan bahwa pada saat investigasi pasca kecelakaan didapati bukti bahwa petugas PJL 57A sama sekali tidak mengerti atau memahami semboyan genta perlintasan), sehingga KA 220 dilewatkan begitu saja tanpa tindakan pencegahan apapun.
Memasuki daerah lengkung berganda berbentuk huruf "S" yang di sekitarnya terdapat rerimbunan pohon yang lebat dan sebuah bukit kecil, Slamet yang berada di kabin lokomotif KA 225 membunyikan semboyan 35 sebagai tanda peringatan dan menurunkan kecepatan dari 50 km/jam hingga 25 km/jam karena melewati tikungan tajam, tetapi pada saat itu mendadak lokomotif KA 220 muncul dari balik tikungan arah Kebayoran dengan kecepatan sekitar 40 km/jam. Menyadari datangnya bahaya, penumpang yang berada di bagian depan dan samping lokomotif KA 225 berusaha menyelamatkan diri dengan melompat ke tanah di sekitar rel, sementara Slamet yang masih berusaha mengerem laju lokomotif yang dikendalikannya kemudian berjongkok bersama asisten KA 225 di bagian bawah kaca lokomotif. Akan tetapi di lain pihak, Amung beserta asistennya di kabin masinis lokomotif KA 220 bernasib sebaliknya, tak sempat mengerem dan menyelamatkan diri.
Dalam hitungan detik, benturan hebat kedua KA pun terjadi pada pukul 07.10 WIB tepatnya pada posisi kilometer 18 +75 m, dan kereta pertama dari depan pada masing-masing rangkaian melompat dari rel hingga menghancurkan komponen mesin kedua lokomotif, yang disebut sebagai "efek teleskopik". Kerusakan terparah dialami oleh dua unit kereta terdepan dari setiap rangkaian, di mana bagian kipas radiator lokomotif yang masih aktif menghancurkan tubuh beberapa penumpang yang berada pada kedua unit tersebut dan banyak anggota tubuh penumpang naas yang terjepit bodi kereta sehingga menimbulkan bau anyir darah yang dirasakan oleh penumpang lainnya yang selamat maupun masyarakat sekitar dan petugas yang menolong para korban.
Berikut ini kondisi kedua rangkaian KA beberapa saat setelah benturan dan selama proses evakuasi:
Begitu hebatnya kerusakan yang ditimbulkan dari efek benturan seperti dinyatakan pada gambar-gambar tersebut, sehingga mengakibatkan tewasnya kurang lebih 70 orang di tempat kejadian, lebih dari 200 orang tercatat meninggal selama perjalanan dan setelah menjalani perawatan di rumah sakit serta sekitar 300 orang lainnya menderita tingkat cedera ringan hingga cedera serius pada anggota tubuh. Sudah barang tentu sisa-sisa anggota tubuh baik yang terpotong akibat benturan maupun karena amputasi sempat memenuhi bagian dalam sarana yang mengalami kerusakan. Korban tewas maupun luka-luka yang didapati pada sarana kereta kemudian segera dibawa ke berbagai rumah sakit di Jakarta, salah satunya adalah RS Cipto Mangunkusumo untuk dilakukan perawatan yang semestinya.
6. Upaya Pasca Kecelakaan
Proses evakuasi yang berlangsung rumit karena harus melalui berbagai tahap pemotongan unit yang rusak untuk mencari dan mengeluarkan seluruh korban yang terjepit dilakukan selama 2 hari berturut-turut dengan
menggunakan kereta penolong jenis NR milik dipo Jatinegara yang
didominasi warna putih dengan strip oranye dan hijau, crane Si Bongkok dan beberapa
peralatan khusus lainnya yang dioperasikan oleh pegawai PJKA. Selama proses evakuasi dan pembersihan unit sarana yang
terlibat kecelakaan, perjalanan KA dari kedua arah terhenti untuk
sementara waktu. Sumber lain menyebutkan bahwa crane uap Si Bongkok sempat mengalami anjlok saat kembali ke dalam lingkungan Balai Yasa Manggarai.
Salah satu lokomotif yang terlibat benturan langsung
dibawa ke Balai Yasa Pengok di Yogyakarta untuk menjalani proses
perucatan dengan menyisakan blok radiator salah satu lokomotif yang
kondisinya hancur, sementara semua unit kereta yang ringsek dibawa ke Balai Yasa Manggarai. Unit lokomotif lainnya bahkan sempat dijadikan pajangan di lingkungan Balai Yasa Manggarai untuk beberapa waktu lamanya sebelum ikut dirucat atau dibesituakan bersama dengan unit-unit kereta lainnya yang tidak dapat diperbaiki.
Selain proses evakuasi korban dan pembersihan jalur dari sisa-sisa sarana yang mengalami kecelakaan, upaya melalui jalur hukum mulai dilakukan terhadap pihak-pihak yang dianggap memenuhi unsur kelalaian sehingga mengakibatkan terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan kematian penumpang, di mana Slamet Suradio sebagai masinis KA 225 divonis 5 tahun penjara, Adung Syafei sebagai kondektur KA 225 divonis 2 tahun 6 bulan penjara, sementara Umrihadi sebagai PPKA Kebayoran Lama divonis 10 bulan penjara. Ketiga pegawai tersebut juga diganjar dengan surat pemecatan dari posisi masing-masing yang ditandatangani oleh Menteri Perhubungan yang menjabat pada saat itu, meskipun Slamet yang sudah mengabdi selama lebih dari 20 tahun sebagai masinis dan Adung tetap berpendirian bahwa mereka berada pada posisi sebagai korban kesalahan prosedur yang dilakukan PPKA Kebayoran Lama.
7. Dampak Terhadap Masyarakat Umum dan Perkeretaapian Nasional
Kecelakaan 2 rangkaian KA di Bintaro ini juga membuat media massa luar negeri membuat tulisan-tulisan beserta artikel mengenai pentingnya standar keamanan dan keselamatan dalam pengoperasian sarana perkeretaapian, sekaligus juga menginspirasi sejumlah musisi besar (Ebiet G. Ade & Iwan Fals) dalam lagu-lagu ciptaan mereka dan salah satu produser film (Bruce Malawau) untuk membuat versi layar lebar kecelakaan ini yang disusun berdasarkan tinjauan di mata masyarakat.
Kecelakaan ini juga sempat menggulirkan wacana pembangunan jalur
ganda antara stasiun Tanah Abang hingga stasiun Serpong untuk menghindari benturan
head-to-head, meskipun wacana
tersebut baru benar-benar terlaksana pada 2007. Selain
itu, prosedur-prosedur tambahan dalam memberangkatkan rangkaian KA pun
mulai diterapkan pada lintas-lintas yang masih menggunakan lajur
tunggal berikut wacana penggunaan sistem persinyalan elektrik untuk lintas dengan jumlah lalu lintas KA yang padat. Untuk kelancaran komunikasi antara masinis dengan petugas di stasiun, pihak PJKA mulai melakukan instalasi dan perluasan penggunaan sistem radio di semua lokomotif yang siap operasi, berikut penertiban pengguna yang masih nekat naik di lokomotif mengingat KA 225 yang terlibat kecelakaan berada pada kondisi penumpang yang tidak sewajarnya.
Sayangnya, seperti tidak belajar dari kasus kecelakaan ini, 13 tahun kemudian pada masa pengelolaan Perumka (Perusahaan Umum Kereta Api) kecelakaan dengan urutan kejadian yang serupa terulang kembali namun terjadi di antara stasiun Sudimara dan stasiun Serpong (akan dibahas pada kesempatan lain). Beberapa kecelakaan KA lainnya yang juga dikaitkan dengan peristiwa kecelakaan ini pun terus bermunculan di masa pengelolaan PT. Kereta Api Indonesia (Persero), di antaranya adalah kecelakaan KA di stasiun Petarukan yang melibatkan KA 116 Senja Utama Bisnis dengan KA 4 Argo Anggrek Malam, kecelakaan KA kontainer Antaboga dengan KA Rajawali di sekitar stasiun Kapas, Bojonegoro serta yang paling baru adalah kecelakaan 2 KA babaranjang pengangkut batubara di Sumatera Selatan.
Demikianlah tulisan ini penulis berikan sebagaimana mestinya, semoga bermanfaat bagi seluruh pembaca sekalian.
Sumber dokumentasi pra kecelakaan: M. Lutfi Tjahjadi
Sumber dokumentasi pasca kecelakaan: Hasan Starr (grup RAILFANS INDONESIA)